Echoes Of Justice

Tragedi Kemanusiaan di Aceh​

“Mereka tidak dapat mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”

– George Santayana

Foto

Hotli Simanjuntak

space

Penulis

Fuadi Mardhatillah

space

Terbit

30 Oktober 2023

Seorang anak yang ketakutan saat Ayah dan Ibunya dihampiri oleh salah satu anggota TNI (Foto: Hotli Simanjuntak)

Orde Baru (Orba) di Indonesia merupakan segmen sejarah yang menandai berakhirnya rezim Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Adapun Orde Lama (Orla) sendiri disebut sebagai nomenklatur yang menandai rezim pemerintahannya yang berlangsung sejak 1945 hingga 1966 (22 tahun). Soeharto menjadi sosok utama yang memunculkan istilah Orde Baru di Indonesia. Kehadirannya tak lepas dari peran sentral dalam pembasmian komunisme di Indonesia yang meletup pada Oktober 1965.

 

Saat itu, tongkat kepemimpinan Soekarno sebagai presiden telah berpindah tangan sejak kekuasaan diberikan kepada pemegang Supersemar, yakni Soeharto (jenderal) pada 23 Februari 1967 di Istana Negara. Memasuki awal-awal pemerintahan Orde Baru, kebencian terhadap komunisme diikuti oleh upaya untuk mengganyang habis seluruh unsur komunisme termasuk para manusianya. Pembunuhan massal terjadi sepanjang tahun 1965-1966 di banyak daerah di Indonesia. Angka korban diduga mencapai jutaan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI pada Juli 2012 silam menyatakan pembantaian terhadap tertuduh komunis ini merupakan pelanggaran HAM berat.

Rezim baru Soeharto juga terindikasi kuat memiliki basis kepentingan ekonomi politik, yakni membawa kepentingan asing di Indonesia. Ketika ia baru berkuasa, Indonesia langsung memberikan kontrak kepada Freeport Sulphur Company ke Papua selama 30 tahun melalui lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). UU ini juga menjadi garis start masuknya investasi asing di Indonesia. Perusahaan notabene asal Amerika Serikat itu mengeksploitasi sumber alam Papua secara masif dengan mendirikan instalasi pertambangan berskala besar. Regulasi tersebut menandai bangkitnya era liberalisasi dan kapitalisasi di Indonesia. 

Sepanjang 1967-1972 saja, tercatat setidaknya terdapat 16 perusahaan pertambangan luar negeri yang melakukan Kontrak Karya di Indonesia. Seperti US Steel, Billton Mij, ALCOA, dan Kennecott. Di Aceh, pada 1971, perusahaan minyak dan gas alam Amerika Serikat, Mobil Oil, menemukan ladang berisi cadangan gas luar biasa di Aceh Utara. Kelak perusahaan ini merger dan melahirkan perusahaan terbesar, yang merupakan gabungan Exxon dan Mobil Oil pada 1999. Tidak beberapa lama kemudian, muncul gerakan kemerdekaan yang diinisiasi oleh Hasan Tiro pada 1976. Kendati banyak yang menyebut adanya romantisme masa lalu yang hendak dibangkitkan melalui gerakan bersenjata itu, gerakan Hasan Tiro cum suis juga berbasis pada isu sumber daya alam. Serangan perdana Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dilangsungkan hanya 1 tahun setelah deklarasi menjadi buktinya. 

Antara tahun 1990 sampai 1998, Aceh berstatus “daerah operasi militer” bernama Operasi Jaring Merah. GAM dalam periode tersebut berada di bawah kepemimpinan Abdullah Syafi’i selaku panglima. Lengsernya Soeharto karena keinginan reformasi pada Mei 1998 mengubah kebijakan politik Indonesia dalam hal menyikapi situasi di Aceh. Habibie, wakil presiden yang saat itu mengisi kursi yang ditinggalkan oleh Soeharto pun menyudahi status pemerintahan militer di Serambi Mekkah pada 7 Agustus 1998, dan menarik pasukan non organik dari provinsi tersebut. Manuver lain dari Habibie yang berdampak cukup besar saat itu adalah langkahnya dalam membebaskan pers dengan menerbitkan undang-undang tentang pers sehingga berbagai cerita kekerasan oleh militer di Aceh diketahui publik melalui laporan media. Di saat yang sama, pelbagai upaya untuk menyelesaikan konflik di Aceh terus diupayakan dan dimediasi pelbagai pihak, tetapi mengalami kegagalan. 

Operasi militer di Aceh berakhir pasca rezim orde baru tumbang. Pada tanggal 7 Agustus 1998 status DOM Aceh dicabut oleh Presiden B.J Habibie. Kebijakan pemerintah RI saat itu juga diikuti oleh penarikan sejumlah pasukan non organik dari Aceh disertai dengan pernyataan Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang secara lisan menyampaikan permintaan maaf atas berbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Kemudian pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia dan GAM menyepakati untuk mengambil langkah ‘Jeda Kemanusiaan’ untuk mengirimkan bantuan kepada rakyat aceh yang menjadi korban selama konflik militer terjadi, pada situasi tersebut pemerintah Indonesia dan GAM tidak boleh melakukan provokasi dan operasi militer yang akan mengakibatkan terganggunya bantuan kemanusiaan. Namun, pada realitanya ketika kesepakatan ini terjadi masih banyak pelanggaran yang dilakukan baik di bidang keamanan maupun kemanusiaan TNI dan GAM masih melakukan mobilitas pasukan, penyisiran dan kontak senjata sehingga mengakibatkan rakyat sipil harus mengungsi ke wilayah lain. 

Setelah itu, terjadi perundingan lagi antara Pemerintah RI dan GAM di Swiss pada 6-10 Januari 2001 yang menyepakati adanya masa moratorium kekerasan, yang kemudian mentransformasi perjuangan GAM yang tadinya melalui perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik di bawah hukum humaniter yang berlaku. Namun, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan berupa Inpres No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif dalam Rangka Penyelesaian Aceh yang membawa dampak buruk bagi penyelesaian damai konflik Aceh, terjadi peningkatan intensitas peristiwa kekerasan karena digelarnya Operasi Militer Rajawali dan meningkatnya berbagai aksi kekerasan dan perlawanan yang dilakukan oleh elemen-elemen bersenjata Aceh. Dilakukan berbagai macam perundingan, hingga pada 13-16 April 2005, pemerintah Indonesia dan GAM melakukan perundingan informal di Helsinki, Finlandia. Rangkaian perundingan tersebut penting karena menjadi momentum kemanusiaan pasca terjadinya bencana alam tsunami di Aceh. Perundingan ini menghasilkan 71 poin yang mencakup pembahasan mengenai pembangunan ekonomi, bendera lambang Aceh, dan pengungkapan pelanggaran HAM. 

Namun, hingga 16 pasca perundingan Helsinki terjadi, belum semua poin terpenuhi. Proses rekonsiliasi dan pengadilan belum dilakukan sehingga korban dan keluarga korban belum juga mendapatkan keadilan dan pemulihan dari Negara. 

Selanjutnya, di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, operasi militer kembali dilancarkan di Aceh melalui Operasi Terpadu yang dimulai pada 19 Mei 2003. Di bawah Panglima TNI Endriartono Sutarto, operasi ini disebut-sebut menjadi operasi militer terbesar di Indonesia sejak Operasi Seroja yang menandai invasi Indonesia ke Timor Timur. Operasi di Aceh yang menyisakan banyak kematian warga sipil ini terhenti oleh bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Bencana yang juga memporak-porandakan Aceh dan memakan banyak sekali korban jiwa tersebut mengantarkan Aceh pada upaya perdamaian yang lebih serius yang nantinya dikenal dengan nama “MoU Helsinki”. Kesepakatan damai ini mesti melalui proses yang alot antara delegasi para pihak. Dari pihak Indonesia, hadir Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah dan I Gusti Wesaka Pudja. Sementara pihak GAM ada Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman dan Bachtiar Abdullah. Di sini, hadir sebagai fasilitator perundingan, yaitu Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, Ketua Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative, dibantu oleh Juha Christensen. Perundingan penuh gengsi ini dimulai pada 27 Januari 2005 dan berakhir pada 15 Agustus 2005, yang ditandai dengan penandatanganan kesepakatan oleh kedua pihak.

Proses keadilan transisi yang berlangsung kemudian di Aceh, membuka tabir rentetan kekerasan sistematis dan meluas di seluruh wilayah. Berbagai jenis pelanggaran HAM, seperti penghilangan secara paksa, pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang, kekerasan seksual dan perampasan harta benda terungkap dalam jumlah yang signifkan mencapai puluhan ribu korban. Kendati pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Aceh) telah diresmikan pada tahun 2013, upaya pengungkapan kebenaran, dorongan penuntutan dan reparasi korban konflik Aceh di masa lalu terus disuarakan oleh elemen masyarakat sipil di Aceh.

Sebagai upaya merawat ingatan, Echoes of Justice merupakan satu inisiatif kalangan masyarakat sipil di Aceh yang tergerak untuk mengungkap dan membangun memorialisasi atas rangkaian peristiwa kekerasan di masa lalu.

 
error: Content is protected !!
id_IDID