Tragedi Arakundo
Idi Cut, 3 Februari 1999
“Jangan kubur kebenaran. Bersuaralah, meskipun tak menjadi kata.”
– Potongan Puisi AA
Foto
KontraS Aceh
space
Penulis
Rozhatul Valica
space
Terbit
14 Agustus 2023
Tragedi Idi Cut atau yang dikenal dengan tragedi Arakundo terjadi pada Rabu 3 Februari 1999. Dari hasil penelusuran yang terungkap dalam buku ‘Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh, 1989-2005‘ terbitan Koalisi NGO-HAM Aceh (2011), kala itu, masyarakat baru saja pulang menghadiri ceramah agama di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut.
Sepulang dari kegiatan itu, pukul 1 dini hari, terdengar suara tembakan dari arah Barat kantor Koramil, lalu disusul oleh kedatangan beberapa truk tentara. Tembakan masih menyalak, sontak diarahkan ke kerumunan massa. Dalam rentetan suara senjata, truk itu kemudian menghadang sejumlah mobil, salah satunya angkutan pick-up berisi rombongan pengunjung ceramah.
![](https://i0.wp.com/echoesofjustice.com/wp-content/uploads/2023/12/7.jpg?fit=662%2C464&ssl=1)
Masyarakat mencari korban penculikan yang dibuang disekitar jembatan Arakundo, 4 Februari 1999.
Seorang saksi mata, Husaini, mengaku melihat orang-orang dalam mobil lompat dan berhamburan di jalan. Namun, suara tembakan yang terus menyalak merubuhkan mereka satu per satu.
Sedikitnya 58 korban tembak lalu dinaikkan ke dalam truk aparat. Ada yang sudah meregang nyawa, namun sebagian masih tertatih didera luka-luka. Ada juga yang bersembunyi di selokan-selokan tepi jalan. Namun, kepastian terkait jumlah korban masih beragam. (Dari data yang dihimpun KontraS, jumlah korban yang terbunuh mencapai 28 orang, dan 8 di antaranya ditemukan di sungai Arakundo).
Usai memasukkan para korban, truk tentara itu segera melaju ke arah jambatan Arakundo. Sebelum dicampakkan ke sungai, para korban diikat telebih dahulu dengan kawat di seluruh tubuhnya. Mereka dimasukkan ke dalam goni.
“Goni-goni yang telah berisi manusia itu kemudian diberi batu pemberat dan terakhir dilemparkan dalam sungai Arakundo. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan temuan mayat-mayat korban pada 4 dan 5 Februari 1999,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Berdasarkan penelusuran Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tertuang dalam buku ‘Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu’ (2006) disebutkan, tragedi Idi Cut atau yang dikenal dengan tragedi Arakundo merupakan satu dari serangkaian kasus kekerasan yang muncul saat Operasi Wibawa yang berlangsung sejak 2 Januari 1999. Operasi tersebut merupakan operasi militer gabungan pertama yang diberlakukan setelah pencabutan status Daerah Operasi Militer (1989-1998).
Diketahui, operasi ini sebagai respon atas penculikan terhadap tujuh orang prajurit AD di Lhoknibong pada 29 Desember 1998. Kejadian itu menjadi alasan Pangdam I Bukit Barisan, Mayjen Ismet Yuzairi untuk mengirim pasukan ke Aceh.
Ketika itu, pasukan yang dikerahkan mencapai 4 SSK (Satuan Setingkat Kompi) sekitar 400 prajurit, dari Linud 100/Pematang Siantar, Binjai – Sumatera Utara. Komandan Operasi Wibawa ini adalah Kapolres Aceh Utara, Letkol Iskandar Hasan.
“Dalam masa itu, metode yang gunakan oleh tentara adalah peralihan kekerasan militer ke rakyat dengan menciptakan kelompok yang tak dikenal sebagai alat untuk memudahkan mereka kembali bertindak brutal dengan provokator sebagai kambing hitam”.
![](https://i0.wp.com/echoesofjustice.com/wp-content/uploads/2023/12/10.png?fit=768%2C514&ssl=1)
Sisa reruntuhan jembatan Arakundo setelah dihancurkan, 14 Agustus 2023.