Echoes Of Justice

Ilyas Bin Isa

Hilang Pada Oktober 2004

Korban penghilangan orang secara paksa.

Ilyas Bin Isa (50 tahun) merupakan warga mukim Panga Pucok, Kecamatan Panga. Ia diculik pada 9 Oktober 2004, bertepatan pada 18 Ramadhan. NA, isterinya, mengatakan bahwa Ilyas diculik ketika sedang berkebun. Ia sekeluarga memang sudah ditandai oleh pihak militer, lantaran suami putrinya merupakan tokoh penting di kalangan GAM setempat.

Ilyas saat itu sedang mengambil karet, yang sudah jadi mata pencahariannya. Sementara sejak pukul 11 jelang siang sudah berlangsung kontak senjata tak jauh dari lokasi. Pukul 3 sore, dalam perjalanan pulang Ilyas diculik aparat. “Ia tak khawatir pulang karena yakin cuma warga biasa yang tidak terlibat apapun, tapi maut memang tidak bisa diperkirakan,” kata NA saat menjamu tim KontraS di teras kedai depan rumahnya. Kedai yang menjual kebutuhan sehari-hari ini merupakan bantuan modal usaha dari Dinas Sosial.

Kabar penculikan mulai terdengar jelang malam. Aparat memerintahkan warga mematikan semua lampu rumah. Sementara NA bersikeras memastikan keadaan suaminya. Ia nekat menjumpai tentara. Ketika itu ia diusir. “Mereka suruh saya ke Meunasah dan jangan keluar dari sana, saya ingin tetap jumpa ayah anak-anak saya, tapi mereka malah ancam, kalau saya keluar, saya akan mati,” cerita NA.

Perempuan itu tetap bersikeras. Ia tak peduli tangisnya yang mulai pecah saat memelas kepada tentara. “Saya tidak masalah Pak, kalau ada undang-undang yang membolehkan membunuh orang yang tidak bersalah, boleh Pak, saya dibawa kemana pun bisa Pak, tapi tolong saya mau jumpa suami saya,” kata NA mengulang kalimat yang pernah diucapkannya kepada tentara kala itu. Mendengar kalimat itu, tentara lantas berang, lalu membentak NA. “Jangan lancang kau ngomong ya,” teriaknya. Berulang kali memohon, NA pun dibawa ke pos tentara. Tapi bukan untuk berjumpa dengan Ilyas. Selama tiga hari ia berada disana. Sementara rumahnya dijaga ketat oleh aparat sepanjang siang hingga malam.

Keesokan harinya, ia bersama anaknya berjalan kembali ke Panga untuk menjumpai iparnya. Dengan berat hati ia menolak membantu NA, lantaran tak berani berurusan dengan aparat. NA lalu meminta tolong kepala desa.

“Saya jumpain Keuchik, dia mau bantu pergi ke pos militer. Ada kesana cuma juga tidak diizinkan jumpai suami saya, tentara bilang tidak ada yang namanya Ilyas,” kata NA.

Belakangan Ilyas sudah dibawa ke tempat lain. NA dan anaknya tetap gigih mencari. Hampir setiap pos aparat mereka datangi untuk menanyakan keberadaan Ilyas. Namun ia malah mendapat kekerasan dari tentara.

“Yang ada saya dan anak yang malah dipukul dan disiksa, rumah saya dijaga siang malam, saya pernah dibawa ke Pos Raider. Dua jam saya dikurung disana, disiksa, ditelanjangi,” ujar dia.

Jejak terakhir Ilyas, menurut kabar yang ia peroleh, berada di pos tentara di kawasan Keude Tuha, Ladang Baro, Kecamatan Panga. Sejumlah tetangga warga di sekitar lokasi pos yang membeberkan informasi itu.

NA memberanikan diri datang kesana. Ia membawa kain dan baju untuk suaminya. Namun tentara tak pernah mengijinkannya menemui Ilyas. “Kami diusirnya pakai anjing pelacak mereka,” kenang NA.

Ilyas kabarnya juga sempat digiring ke pos lain. NA mengaku hanya luput mendatangi satu pos di wilayah Keutapang. Seingat NA, ada tiga hingga empat pos yang didirikan di sekitar daerah ‘merah’ ini. Itu belum termasuk pos yang dulunya rumah warga yang sudah dikosongkan paksa.

Namun, setelah bencana Tsunami, seorang kerabat NA warga Krueng Sabee mengaku mendapat informasi bahwa pukul 4 pagi Ilyas dibawa tentara ke Patek, Sampoiniet. “Ada dua orang yang diangkut tentara menuju Patek. Wajah mereka ditutup kain,” ujarnya. Putri NA yakin Patek merupakan posisi terakhir sang ayah. Namun kepala desa sekitar kamp itu bungkam dan tak memberi informasi apapun kepadanya.

 

Beberapa bulan usai penculikan, tentara mencoreng pintu rumahnya, sebagai peringatan bagi warga sekitar untuk tidak datang ke rumah tersebut. Bahkan ketika NA ingin menggelar doa bersama di rumahnya, tak ada tamu yang berani datang. Saat NA dikurung dan disiksa aparat, kepala desa pun tak berani membantunya. Ia mengenal seorang tentara asal Lhokseumawe, Yudi yang dikenal garang dan tak sungkan menghabisi warga jika berani melawan. “Semua orang takut sama Yudi itu, makanya tak bisa tolongin Mak. Sedih hati kita, padahal dia dan kita sama-sama orang Aceh, sama-sama orang Islam, tapi dia tega memukul dan membunuh warganya sendiri.”

Malam jelang lebaran Idul Fitri, NA tak bisa tidur. Matanya tetap terjaga. Tentara selalu awas bahkan menyatroni rumah seluruh keluarga anggota GAM. Hanya NA yang bersikeras untuk bertahan di rumahnya, meski jadi bulan-bulanan tentara yang kesal dengannya. Biasanya, begitu tentara membubuhkan tanda silang di sebuah rumah yang dianggap berkaitan dengan GAM, penghuni rumah terpaksa angkat kaki.

“Kalau Mak nggak buka pintu, akan disiksa. Daripada disiksa, ya mereka dibiarkan naik ke rumah, pernah habis uang tabungan anak saya, semua diambil. Kami itu saja masih mendingan. Kalau rumah lain malah ada yang dibakar tentara,” ucapnya.

Berhari-hari kemudian, NA tetap hidup dalam intimidasi. Ia sekeluarga diwajibkan lapor seminggu sekali ke pos tentara. Ia bahkan dilecehkan karena setiap datang ke pos, aparat memerintahkannya untuk melepas pakaiannya. “Tak sanggup saya cerita sebenarnya kalau ingat lagi masa itu, sudah cukup kami menderita karena tentara,” ujar NA sambil menitikkan air mata. Untuk menghidupi seorang anaknya yang berusia 12 tahun, NA harus bertani karet, menggantikan pekerjaan suaminya. Ia harus berjalan kaki naik ke gunung sejauh tiga kilometer saban harinya.

Dengan tambahan bantuan sana-sini, termasuk dana diyat yang ia terima sebesar 6 juta rupiah, NA berhasil menguliahkan anaknya. “Anak ini jangan sampai mewariskan derita kami orang tuanya, kalau saya tak kerja keras, mau saya kasih apa ke dia,” ujar NA. 

Kini, NA tinggal sendiri. Anak kedua yang selama ini ia kuliahkan, dua tahun lalu sudah menikah. Namun NA tak pernah kesepian karena di kampung ramai tetangga yang ikut memperhatikan satu sama lain. Situasi telah aman sehingga warga kembali berbaur satu sama lain. Ia juga tetap berhubungan dengan putrinya, yang kini sudah tak lagi hidup bersama suaminya. Kadang sesekali ia mengirimkan uang jajan untuk cucunya.

error: Content is protected !!
id_IDID