Echoes Of Justice

Arjawati

Hilang Pada 23 November 2002

Korban penghilangan orang secara paksa.

Arjawati, perempuan berusia 28 tahun, dijemput tentara di rumahnya di pelosok Kecamatan Setia Bakti. AS berusaha mengingat kembali kasus yang menimpa putrinya pada malam tanggal 23 November 2003 itu.

“Seingat saya itu pertengahan bulan puasa, kami lagi makan sahur bersama,” ucap AS yang ditemani isterinya saat ditemui KontraS, Senin (13/01/2020).


Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah mereka. “Mak, siapa itu?” tanya Arjawati setengah berbisik. “Tak tahu saya,” jawab ibunya. Ketika pintu dibuka, sejumlah anggota TNI Kostrad dan Koramil Setia Bakti sudah berjaga di sekeliling rumah.

“Nggak mungkin kita tahan lagi waktu itu, kita cuma diam, hati sudah tak karuan,” kata AS.


Arjawati diangkut ke mobil tentara. AS dan isterinya tak bisa mengambil sikap lain, mengingat sebelumnya di kampung baru saja terjadi kontak senjata dan beberapa warga diangkut aparat. Banyak yang terbunuh.


Sewaktu Arjawati dibawa dengan mobil tentara, AS dan isterinya ikut menyusul berjalan kaki. Jam 4 subuh, mereka tiba di pos dan berusaha melihat keberadaan Wati. Ia sempat memohon pada seorang aparat agar diizinkan bertemu anaknya. Tapi tak digubris.

“Dibilangnya, sudah jangan nangis lagi, anggap saja Wati tidak ada lagi,” kata dia. Ibunya makin tak kuasa menahan sedih.


Seorang petugas jaga yang juga warga Aceh sempat membisik ke isteri AS agar tidak pulang, karena Wati masih ada di dalam pos. Hal itu berbeda dengan sikap tentara lain terhadap mereka.


“Satu orang tentara dari Batak sambil membawa anjing, dia maki-maki kami. Wati juga dihinanya, ‘itu lah makanya anak kalian itu jangan gabung-gabung sama GAM, sekarang baru tahu rasa’,” kenang isteri AS meniru kalimat yang diucapkan aparat itu. Ia membatin, si tentara pasti punya anak dan isteri, seharusnya tidak mengeluarkan kalimat seperti itu.


Sampai keesokan harinya, Arjawati baru diizinkan menemui ibunya. Saat terakhir itu, Wati tampak mengenakan jilbab dan kain sarung. “Itu terakhir kalinya kami jumpa anak kami,” ujarnya. Namun Wati pernah memohon pada ibunya untk tidak pulang, karena sangat takut dengan seorang aparat di pos. “Wati bilang ke saya, ’Mak, jangan pulang dulu, itu tentara orang Jawa suka sekali pukul-pukul tahanan’, saya makin sedih dengarnya,” kata ibu Wati.


Hari berikutnya, sang ibu kembali ke pos dan disarankan Danramil untuk pulang saja. “Dibilangnya Wati sudah sampai dibawa Polsek untuk proses hukum, jadi tidak usah disitu lagi, kami pun diminta keluar.”


Tak lagi di pos, AS sekeluarga mencoba menanyakan ke orang-orang tentang keberadaan Arjawati, lantaran aparat Polsek mengaku bahwa tak ada Arjawati di kantor mereka. Mereka terus mencari ke Kuala Tripa, bahkan Meulaboh, mengikuti informasi yang disampaikan sejumlah orang. Untuk biaya pencarian, keluarganya terpaksa menjual emas mereka. Namun belakangan, terdengar kabar miris.


“Ada orang yang bilang,’Yah ngak usah cari lagi kak Wati’. Katanya anak saya dan seorang tahanan lain sudah ditembak, mayat mereka dibawa ke belakang pos dan dibakar, yang bakar juga orang Aceh yang diperintah atasannya begitu,” ungkap AS.

Tak tahan menerima kabar tersebut, ibu Wati menangis berhari-hari lalu jatuh sakit. Keluarganya pun mengadakan yasinan mendoakan Wati.


Usai konflik, AS pernah menerima dana diyat sebesar tiga juta rupiah. Namun setelah itu tak pernah ada upaya dari pemerintah untuk mencari keberadaan anaknya dan juga warga lain yang dihilangkan paksa.

error: Content is protected !!
id_IDID